Catatan kecil di hari kartini : Cukup 7 Tahun 7 Bulan 19 hari..

Aku termasuk tipe orang yang well prepared. Ketika memutuskan untuk melakukan sesuatu, berarti aku sudah memikirkan segala hal yang berkaitan dengan rencana tersebut jauh sebelumnya. Begitu pula dalam menyusun cita-cita hidupku.  Ketika masih duduk di bangku SMU kelas dua aku sudah bisa membayangkan seperti apa diriku 5 tahun yang akan datang ,bekerja di gedung kantor yang bagus dan ber-AC, berada didepan komputer, memakai seragam “kebanggaan” berupa jas/blazer hitam, berkalung mutiara putih, bersepatu hak tinggi, serta tak lupa menjinjing tas kantor model terbaru.

Alhamdulillah, Allah yang Maha Pengasih memuluskan mimpi-mimpiku. Tidak begitu lama setelah lulus kuliah dengan predikat sebagai wisudawan terbaik di Fakultasku, aku diterima bekerja sebagai officer dengan jabatan sebagai analis kredit di salah satu bank pemerintah.  Tidak bisa dilukiskan bagaimana kegembiraanku waktu itu! Dari sekitar 1.200 orang pelamar untuk wilayah Sulawesi Selatan-Tenggara, Ambon dan Papua, hanya terpilih 31 orang. Dan aku salah satunya.

Menjalani pekerjaan sebagai analis kredit apalagi ditempatkan di daerah asalku-Kendari adalah  keberuntungan berikutnya buat aku. Hari-hari aku lalui dengan penuh gairah dan semangat. Setiap hari ada saja pengalaman dan pengetahuan baru yang aku dapat, entah itu dari atasan, rekan sekerja ataupun dari debitur, menjadikan hari-hariku semakin berwarna. Targetku adalah bagaimana memberikan performance terbaik untuk perusahaan yang sudah menggajiku dengan nominal yang alhamdulillah sangat aku syukuri.

Membawa pulang pekerjaan kantor ke rumah sering aku lakukan, aku juga tidak pernah komplain jika harus pulang terlambat karena harus bekerja ekstra alias lembur ataupun karena meeting. Ketika hari sabtu-minggu tiba, namun atasan menugaskan aku untuk keluar kota untuk mencari prospek, aku dengan sigap mengiyakan. Jika di proporsikan ¾ hidup dan pikiranku waktu itu aku tujukan untuk urusan kantor.

Dengan tidak bermaksud mengecilkan posisi lain, di Bank  posisi analis kredit bisa dikatakan sebagai  “tulang punggung” . Sehingga kerjanya pun harus “ekstra” dari yang lain. Mencari prospek dan bernegosiasi dengan calon debitur, mengukur dan mentaksasi nilai jaminan,menghitung dan menganalisa laporan keuangan, menilai layak atau tidaknya pemberian kredit untuk diajukan kepada komite pemutus adalah beberapa bagian dari tugasku seharí-hari. Perlakuan yang sama tidak hanya dilakukan untuk calon debitur, namun juga untuk debitur “existing”. Sebagai seorang analis, kami dituntut untuk selalu membina hubungan baik dengan para debitur lama dengan tujuan agar mereka tidak “lari” ke Bank pesaing. Mempertahankan debitur agar tidak tergoda iming-iming dan rayuan para pesaing, sungguh bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Bisa dibilang jam kerja analis itu hampir 24 jam. Mendapat telepon di pagi buta dari debitur atau diberi tugas mendadak oleh atasan dimalam hari, adalah hal yang biasa bagi seorang analis.  Tapi waktu itu aku Sangat menikmati peranku, menjalani semuanya dengan enjoy.

Ketika akhirnya aku bertemu jodoh di usia 26, dengan alasan pekerjaan, kami belum bisa menjalani rumah tanggal normal seperti pasangan suami istri lainnya, hubungan jarak jauh adalah konsekuensi yang harus kami jalani karena aku masih bekerja di kendari, sedangkan suamiku bekerja di Bogor. Namun demikian hal ini tidak mengurangi kebahagian kami, terlebih lagi sebulan setelah kami menikah, aku dinyatakan positif hamil. Raihan masih berusia 21 hari ketika suamiku harus berangkat ke Jerman. Alhamdulillah suamiku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Doctoral. Lagi-lagi, dengan alasan aku masih belum siap untuk melepaskan statusku sebagai karyawan, sehingga aku memilih untuk tidak mendampingi suamiku di Jerman

Selama masa ini aku menjalani beberapa peran sekaligus. Sebagai seorang ibu yang juga untuk sementara merangkap sebagai ayah. Sebagai istri dan juga sebagai pekerja kantoran. Tentu saja hal ini tidak mudah. Waktu 24 jam terasa sangat kurang buatku. Terkadang pulang kantor, ditengah penatnya pikiran  karena tekanan pekerjaan dikantor, ingin sekali rasanya langsung merebahkan tubuh. Namun aku tidak boleh egois, anakku Raihan pasti membutuhkan aku ibunya, setelah ditinggal kerja seharian. Begitupun ketika Raihan terlelap, aku belum bisa beristirahat, karena tiba saatnya aku menjalankan peran istri. Dikarenakan perbedaan waktu antara Jerman dan Kendari  yang kurang lebih 6 jam, tengah malam adalah waktu yang biasa kami gunakan untuk chatting, berbagi cerita tentang hari yang kami lewati ataupun mendiskusikan perkembangan Raihan. Pukul 2 dinihari aku baru bisa terlelap. Sungguh peran yang tdak mudah dijalani karena membutuhkan tenaga dan pikiran yang ekstra. Namun aku tidak boleh mengeluh. Bukankan ini semua atas kehendakku, sebagai konsekuensi atas pilihan hidupku.

Namun aku sangat bersyukur, ditengah keterbatasan waktu yang aku miliki, aku bisa menunaikan salah satu kewajibanku sebagai ibu. Aku bisa memberikan ASI kepada Raihan sampai dengan umur 2 tahun.  Meskipun tantangan dan kendalanya cukup berat, namun aku tidak mudah menyerah. Untuk sesuatu yang aku yakini kebenarannya, tidak ada kata excuse dalam kamus hidupku. Dan keberuntungan lainnya yang aku miliki adalah karena aku dikelilingi oleh supporting group yang hebat, keluarga dan ART yang baik. Merekalah yang selalu “memback-up” keterbatasanku.

Alhamdulillah, Raihan tumbuh menjadi anak yang manis, dia tampak sangat mengerti kondisi ibunya yang tidak bisa ada disisinya selama 24 jam. Ketika aku tinggal ke kantor Raihan jarang sekali menangis ataupun rewel berlebihan, Malah ketika usai acara “dadah-dadahan”, dia terlihat asik berjoget ditemani nenek dan ARTku. Pun ketika pulang kantor terkadang aku mendapati Raihan dan ARTku sedang tertawa cekikikan atau sedang terlelap di pelukan neneknya. Melegakan memang, namun sungguh terselip rasa cemburuku atas semua kondisi ini. Mestinya aku yang di posisi itu. Aku yang menemani Raihan berjoget, aku yang tertawa dan terbahak bersama Raihan, dan semestinya dipelukanku dia terlelap. Nuraniku semakin berontak tatkala setiap pulang kantor ibu dan asistenku bergantian menceritakan perkembangan Raihan. “Eh Raihan udah berdiri sendiri loh” kata ibuku, atau “ bu, gigi adek tumbuh satu lagi” lapor ARTku. Oh Tuhan maafkan kalau aku egois, maafkan kalau aku cemburu. Aku ibu dari anakku, aku ingin sekali sebagai orang pertama yang melihat setiap perkembangan anakku. Aku tidak mau hanya sebagai “penonton” atas tumbuh kembang anakku. Terkadang jika perasaan seperti itu timbul, aku mencoba menghibur diri & menguatkan hatiku dan berkata “ ah yang penting kan kualitas hubungan dengan anak, kuantiítas pertemuan gak terlalu penting”.Hmm terkadang dalam hidup kita membutuhkan pembenaran atas apa yang kita lakukan, meskipun dalam hati kecilku tidak membenarkan hal itu. Tuhan, Aku butuh waktu yang lebih banyak untuk bersama anakku.

Sejak menjadi ibu, prioritas hidupku berubah. Dulunya aku selalu berseri-seri di pagi hari saat mengenakan busana kerja, Namun kini aku Sangat membenci pagi, karena pagi berarti saat dimana aku harus berpisah dengan Raihan. Berat sekali rasanya melangkahkan kaki untuk berangkat ke kantor. Terkadang keberadaanku dikantor hanya ada secara fisik, tapi pikiranku ada dirumah. Dikantorpun aku hanya sibuk menunggu pukul 5 sore atau menghitung  berapa hari lagi akhir pekan tiba. Apa kabar target? apa kabar prospek? sungguh aku tidak peduli. Hubunganku dengan perusahaan seperti hubungan dagang, perusahaan butuh tenagaku sedangkan aku butuh materi dari perusahaan. Sudah tidak ada lagi passion didalamnya.

Gagasan untuk berhenti kerja sudah berulang kali terlintas dipikiranku.  Namun aku masih terus bertahan.  Kekhawatiranku tentang bagaimana kedaaan ekonomi keluarga kami nantinya jika pendapatan hanya berasal dari satu “tiang” menjadi salah satu alasanku. Alasan lain yang sangat kuat kenapa waktu itu aku memilih untuk tetap bekerja yaitu karena orang tuaku, khususnya ayahku. Meskipun tidak terucapkan dengan kata-kata, namun aku tahu. Bagi beliau yang pensiunan PNS, adalah kebanggaan terbesar dalam hidupnya karena mampu menyekolahkan 9 orang anaknya hingga ke jenjang sarjana, dan kebanggan lain ketika melihat kami, khususnya anak-anak perempuannya yang mampu mandiri secara ekonomi, tidak tergantung kepada suami. Aku tidak mau menjadi anak yang menorehkan “kekecewaan” dihati orangtuaku. Apalagi diusianya yang sudah lanjut. Walaupun aku sudah berstasus sebagai orang dewasa yang bebas menentukan pilihan hidupku, tapi sampai kapanpun aku tetaplah seorang anak yang harus menjaga perasaan orang tua.

Kedua alasan itulah yang membuat aku bertahan untuk tetap bekerja. Apalagi ketika SK pindahku ke kota Bogor akhirnya terbit juga. Walaupun suamiku masih belum kelar studinya, namun mimpi kami untuk tinggal satu kota akhirnya terwujud juga dengan kepindahanku di kota Bogor ini. Namun ternyata Allah berkehendak lain, baru beberapa saat merasakan kerja di Kota Bogor, karena alasan perubahan organisasi, aku mendapat SK mutasi ke Jakarta.

Bekerja di Ibukota lain lagi tantangannya. Aku akhirnya merasakan juga pengalaman ratusan ibu bekerja yang mengadu nasib di ibukota. Berangkat kerja ketika anak MASIH tidur dan pulang ketika anak SUDAH terlelap . Untuk mengejar kereta jam 6.25 pagi, aku harus keluar rumah paling lambat pukul 5.10 pagi hari dan itu berarti aku harus bangun jauh sebelum itu. Karena tidak ingin Raihan bangun tidur tanpa terlebih dahulu melihat aku, aku membangunkan Raihan sekedar untuk mengantar aku berangkat kantor. Di pagi buta aku menggendong Raihan sampai ke ujung gang dekat rumah kami, sedangkan mbak ARTku menenteng tas kantorku. Jika sudah tiba di ujung gang, Raihan aku serahkan kepada ARTku.  Saat itu adalah momen  yang sungguh mengiris hati buatku, melihat mata beningnya yang masih terkantuk kantuk sambil melambai-lambai ke arahku. Untungnya, Raihan sangat jarang menangis dan meronta-ronta ketika ditingal..Harusnya aku lega ?? Tidak!. Walaupun dia tidak menangis meronta ronta, tapi aku sering mendapati matanya berkaca-kaca.

Ketika bayangan Raihan sudah hilang dari pandangan, baru aku melangkahkan kaki menuju ke pangkalan angkot. Biasanya di angkot atau dikereta aku menumpahkan tangisku. “Oh Tuhan sampai kapan aku harus bertahan dengan kondisi seperti ini ?” teriak batinku.. Tidak adil buatku. Tidak adil juga buat anakku. Pulang kantorpun demikian, terkadang pukul 21.30 malam aku baru sampai dirumah. Jika Raihan belum tidur, dari luar aku bisa mendengar suaranya yang gembira ketika mendengar pintu pagar yang terbuka, “Mama datang..mama datang” teriaknya menyambutku. Aku juga pernah dibuat menangis terharu karena tingkahnya. Ketika itu aku pulang dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan naik ojek,  Raihan dengan wajah penuh prihatin menyambutku didepan pintu sambil berucap “kasian..mama basah yah?”. Namun seringkali aku pulang mendapati Raihan sudah terlelap. Ada kejadian yang membuat aku terenyuh. Pernah tiga malam berturut-turut aku mendapati Raihan tidur tanpa mengenakan pakaian tidur. Ketika hal ini kuanyakan kepada ARTku, dia menjawab “Bu raihan gak mau dipakein baju bobo, dia maunya ibu yang makein” Lagi-lagi batinku berteriak, Maafkan mama sayang!.

Disaat Raihan terlelap aku selalu memandangi wajah polosnya.  Aku merasa sangat berdosa terhadap anaku. Dia sudah jauh dari pelukan sang ayah, kehadiran fisik ibunya pun baru bisa ia temui dimalam hari dan di akhir pekan. Kasian sekali anakku. Di tahun tahun pertama kehidupannya dia harus belajar segala sesuatunya “sendiri”, Bagaimana aku bisa mengharapakan Raihan menjadi anak yang shaleh jika bukan aku yang pertama kali mengajarkan dia berdoa. Bagaimana aku bisa bermimpi Raihan menjadi anak yang berbudi pekerti jika dia tidak melihat contoh dari ibu bapaknya. Dan aku akan menjawab apa nanti di akhirat, ketika Allah menanyakan: Apa yang aku telah lakukan terhadap titipan-Nya?

Setelah sekian lama mengalami perang batin, melalui sujud istikarah dan diskusi panjang dengan suami Akhirnya aku menyadari bahwa dalam hidup tidak semua hal bisa didapatkan. We lose some but we win some. Dengan dukungan penuh suamiku dan tak lupa memohon izin terlebih dahulu kepada orang tua dan keluargaku, akhirnya tanggal 8 November 2010 menjadi tanggal yang bersejarah buatku. Aku memantapkan niat untuk mengajukan surat pengunduran diriku. 7 tahun 7 bulan 19 hari adalah waktu yang cukup bagi diriku untuk berkarier diluar. Mungkin saja suatu saat aku akan kembali bekerja, tapi untuk saat ini adalah waktu untuk aku  kembali kepada khitahku, menjadi madrasah  pertama bagi Raihan anakku.  Aku menyadari sepenuhnya, sudah pasti banyak konsekuensi yang timbul karena keputusanku ini. Insya Allah kami siap menghadapinya.

——
Beberapa waktu lalu, aku dapat sms dari mantan rekan sekerja, dia mengabarkan bahwa eks kantorku baru saja memberikan bonus bagi karyawan dalam jumlah besar. Jumlah yang belum pernah aku terima semasa aku bekerja disana.. Aku hanya terdiam..membayangkan..ah kalau saja aku masih berstatus pegawai, tentu bonus sebesar itu akan bisa aku pergunakan untuk berbagai hal. Merenovasi rumah atau membayar DP mobil. Tapi kemudian aku terhenyak. Bisa setiap saat menatap mata bening Raihan, melihat senyum cerianya, menikmati pelukan hangatnya dan tersenyum melihat kebiasaannya yang selalu mengucapkan terima kasih ketika diberi sesuatu, ..aku tersadar bahwa  aku sudah menerima “bonus” itu lebih dahulu dan nilainya jauh lebih berharga..

Teruntuk matahari kecilku..Arsya Arraihan Madduppa

PS :  Menjadi  Working Mom ataupun Stay at Home Mother adalah pilihan, tidak ada yang lebih hebat satu diatantaranya..Selamat hari Kartini untuk kita semua, Perempuan Hebat Indonesia..

22 thoughts on “Catatan kecil di hari kartini : Cukup 7 Tahun 7 Bulan 19 hari..

  1. Haii 🙂
    Salam kenal ya.
    Ini kali pertama aku baca postinganmu.
    Aku nangis bacanya. Terutama di bagian gimana rasanya dikabarin perkembangan anak sama nenek / art.
    Aku ga bisa terlalu empati mungkin, aku ga pernah ada di posisi kamu.
    Tapi satu hal, aku salut sama kamu.
    Kebayang beratnya semua dijalanin, tapi harus.
    Kamu hebat, mbak.
    Asli salut.
    Ga mudah buat milih antara karir dan anak. Itu aku rasa waktu aku mutusin utk berhenti kerja, di minggu yg harusnya aku balik kerja setelah cuti.
    Sekali lagi, kamu hebat banget.
    Semua udah kebayar ya, mbak.
    Raihan sekarang ada sama2 mbak terus.
    Thanks for sharing, mbak.

    Lina (@linalinsky)

    • Terima kasih banyak mbak lina..Insya Allah mudah2an ini pilihan terbaik untuk kami..Walaupun udah gak dapet gaji bulanan dari kantor tapi rasanya kebayar deh dengan bisa meluk raihan setiap saat dan selalu ada pas dia bangun abis tidur siang 🙂 Surgaaa banget
      btw..aku udah laama loh “kenal” mbak lina, awalanya dari milis Afb trus dulu aku pernah beli medela elektrik sama mbak lina hehehe..

  2. Terdampar disini melalui account FB Bang Hawis..
    Salam kenal..
    You did it..!!! Saya pun pernah berada di posisi yang sama..
    Two thumbs up..
    Salam buat Raihan.. Sayang sekali saya tidak sempat melihatnya memakai winter jacket yang dicari Bang Hawis ke seantero Bremen.. :))
    Nice to know you..

  3. Terharuuu bgt bacanya Mbak…
    Keputusan yg berat tapi insya Allah ada balasan yg baik utkmu.
    Btw dapur masih ngebul kan meski hanya dr satu tiang? ;D

    • alhamdulillah jeng asty..dapur masih ngebul, masih bisa makan sehari 3 kali eh 4x kalo saya mah :p tapi yang penting buat saya masih bisa shopping uppsss 🙂
      ternyata no need to worry,Matematika Allah luar biasa dahsyatnya,Allah sudah mengatur semuanya..

  4. Terharu bgt aku mba.. 😦
    Hidup memang selalu ada pilihan kan? makanya jgn pernah bilang “tidak ada pilihan”. yang ada “mau atau tidak memilih?” hehe…

    Salam buat bang hawis ya mba…smoga keluarga mba selalu diberi kbahagiaan. amin…

  5. Mengharu biru bacanya.. Semoga kputusan yg diambil adlh kputusan yg tbaik. Aq blm prnh krja d luar, blm prnh mrasakn g seharian sm anak. Iya mbk bener, nyiumin anak dg bau khasny itu surga bgt

  6. hai amnah…jadi ikut terharu bacanya….memang sedih rasanya harus meninggalkan buah hati walau hanya beberapa jam sehari, tapi alhamdulillah sekarang sudah bisa mendampingi raihan terus kan….InsyaAllah semua dilancarkan oleh Allah SWT…kabarnya dah kumpul di Jerman ya?
    salam buat raihan n hawis ya…
    kalo sdh di bogor ketemuan yuks…selama ini cuma dengar ceritanya aja.jadi pengen ketemu…hehehe….

  7. subhanaallah…haru aku bacanya mak.
    Feel you banget 😦
    mmg berat yaa…tapi aku salut sm perjuangan n kputusanmu.
    InsyaAlah yaa dgn satu tiang, rezeki gak kmana yaaaa…Allah udh ngatur smua say.
    Aku jd tau n byk belajar dr smua pengalamanmu (ldr, houfe-wife etc.)….dis blog really inspiring. Thank You! 🙂

    *applause*

  8. sangat menyentuh, inspiratif, go ahead adik manis…..mungkin suatu saat nanti, aku akan melihat novelmu terpajang ditoko-toko buku

  9. Ah…air mataku jatuh saat membaca Raihan gak pakai baju tidur krn pengin mamanya yg makein. Insya Allah pilihan yg sdh mam ambil adl pilihan terbaik 🙂

  10. mbak, aku baru baca dan meriindiiing sekali… beberapa kali di mulut ini terucap, iya.. iyaa.. iya.. aku juga begitu…
    saya, sampai saat ini masih jauhan sama suami. dan masih memilih untuk tetap bekerja karena serentetan alasan, dan memang menurut kami, ini adalah yg terbaik..
    Ngerasain bener yang bagian menjadi ibu dan ayah itu mbak,,.. hu hu hu 😦 😦

  11. Halo mama Raihan….
    Membaca kisahmu, sungguh membuat terharu deh…
    Seakan2 aku melihat diriku sendiri….Aku bisa ngerasain pedihnya ninggal anak untuk berangkat ke kantor….Tapi, sekarang kamu lebih beruntung bisa bersama anakmu sepanjang hari, sedangkan aku masih tetap “bertahan” (aku PNS yg tidak semudah itu bisa mengundurkan diri)…. Hidup memang pilihan ya, smoga aku tetap bisa jd ibu yang baik utk anak2ku…
    Btw, selamat ya mama Raihan, I think u have made the right decision for your fam…^_^

Leave a reply to putilaksmi Cancel reply